Home » » Mendulang Suara dengan Umpan Perempuan

Mendulang Suara dengan Umpan Perempuan

Written By Honest Dody Molasy on Tuesday, May 7, 2013 | 4:42 PM


(Foto : Harian Terbit)




Mendulang Suara dengan Umpan Perempuan

Honest Dody Molasy
Dosen FISIP Universitas Jember
Kandidat Doktor Ilmu Politik di Swinburne University - Australia
(Artikel dimuat dalam Harian SINDO Mei 2013)


Di penghujung Bulan Maret ini, media massa kita dipenuhi oleh iklan partai politik (parpol) untuk menjaring calon anggota legislatif (caleg). Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan caleg potensial dan memiliki pengaruh dalam masyarakat untuk mendongkrak perolehan suara dalam pemilu tahun depan. Tidak hanya iklan di media massa, bak petugas marketing, para petinggi parpol di Jakarta juga banyak yang ‘turun gunung’ menjajakan kursi parlemen kepada tokoh-tokoh berpengaruh di daerah. Salah satu yang menjadi incaran mereka adalah caleg perempuan. Upaya parpol untuk menjaring tokoh-tokoh perempuan ini bukan tanpa alasan, sebab undang-undang dan aturan KPU mewajibkan setiap parpol untuk mencantumkan sedikitnya 30  persen perempuan dalam daftar caleg yang dikirim ke KPU tanggal 9 April nanti.
Kuota 30 persen perempuan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang adalah salah satu bentuk affirmative action untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen. Langkah ini sangat penting, karena sejak republik ini menyatakan kemerdekaannya di tahun 1945 hingga sekarang, jumlah perempuan di dalam parlemen masih sangat sedikit. Padahal demokrasi mensyaratkan adanya sistim perwakilan yang memungkinkan setiap kelompok dalam masyarakat terwakili. Tinggi rendahnya tingkat keterwakilan ini akan mempengaruhi tinggi rendahnya kualitas demokrasi.
Sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu terakhir tahun 2009, jumlah perempuan di kursi DPR memang mengalami peningkatan. Namun peningkatan prosentase perempuan di parlemen itu tidak cukup signifikan. Pada pemilu pertama tahun 1955 misalnya, hanya ada 17 perempuan dari 272 anggota parlemen saat itu, atau hanya sekitar 6.25 persen saja. Prosentase ini meningkat menjadi 9 persen pada pemilu 1999 dan 17.86 persen pada pemilu terakhir tahun 2009. Tentu saja prosentase ini sangat tidak sebanding dengan jumlah perempuan Indonesia yang mencapai 118.010.413 atau hampir separuh dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, Sensus Penduduk 2010).
Ketimpangan prosentase keterwakilan perempuan ini semakin nyata jika kita lihat data per-provinsi. Ada banyak provinsi di Indonesia yang ternyata tidak memiliki wakil perempuan yang duduk di DPR, misalnya Provinsi Aceh dan Bali. Belum lagi bila kita lihat jumlah perempuan di DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang prosentasenya jauh lebih sedikit dari perempuan di DPR RI. Demikian juga jika kita lihat per-parpol, dimana banyak parpol yang prosentase wakil perempuannya di parlemen masih sangat kecil. PKS misalnya, yang hanya memiliki sekitar 5 persen saja wakil perempuan di DPR RI.
Perempuan Hanya Sebagai Umpan
Faktor yang menjadi penghambat utama dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen adalah tidak adanya keseriusan parpol untuk memprioritaskan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif. Kenyataan ini bisa dibuktikan dengan kondisi parpol saat ini yang ‘kebingungan’ dalam menjaring perempuan untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif dan untuk memenuhi persyaratan kuota 30 persen perempuan. Koran Sindo misalnya, awal Maret lalu memberitakan pernyataan Ketua Umum PPP Suryadharma Alie yang mengaku kesulitan mencari kader perempuan untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan menjelang penyerahan Daftar Calon Sementara (DCS) pada tanggal 9 April mendatang. Kondisi yang sama saya kira juga dialami oleh parpol-parpol lainnya. Akibatnya, parpol cenderung asal comot saja dan asal memenuhi persyaratan undang-undang.  Akibatnya banyak perempuan yang dicalonkan parpol tidak terpilih dalam pemilu, dan kalaupun terpilih mereka tidak memiliki bekal dan kualitas yang cukup untuk dibawa dalam persidangan DPR.
Jika partai politik serius dalam mencalonkan perempuan untuk menduduki kursi parlemen, tentu mereka akan menyiapkan kader-kader perempuannya jauh-jauh hari sebelumnya. Para kader-kader perempuan ini seharusnya mendapatkan pelatihan khusus sehingga mereka siap bertarung saat pemilu. Apa yang parpol lakukan saat ini tak lebih hanya menempatkan perempuan sebagai umpan saja untuk mendapatkan ikan yang lebih besar. Umpan itu sendiri setelah pemilu akan lenyap dan yang diuntungkan hanyalah partai politik sebagai lembaga yang menebar pancing.
Dalam sebuah kesempatan, seorang pimpinan organisasi perempuan di Jawa Timur berkeluh kesah kepada saya. Saat ini sudah ada tiga partai politik yang melamarnya untuk menjadi caleg di DPRD Provinsi Jawa Timur, namun semua lamaran itu ia tolak. Alasannya karena tidak ada keseriusan dari parpol-parpol tersebut untuk mencalonkan dirinya. Salah satunya adalah tidak ada jaminan bahwa perempuan ditempatkan pada nomor urut 1 dalam daftar caleg yang akan diserahkan ke KPU. Tahun 2009 lalu dia mencalonkan diri, namun pada detik-detik terakhir namanya digeser ke daerah pemilihan (dapil) lain karena dia ternyata satu dapil dengan salah seorang petinggi partai. 
Tentu kesalahan tidak bisa kita timpakan pada parpol semata-mata. Sah-sah saja parpol menggunakan perempuan sebagai daya tarik untuk mendulang suara dalam pemilu, sebagaimana pabrik rokok menggunakan SPG cantik untuk melariskan barang dagangannya. Harusnya perempuan lebih cerdas jika mendapatkan tawaran dari parpol untuk menjadi calon legislatif. Ibarat mau menikah, perempuan hendaknya memasang mas kawin yang mahal yaitu dicalonkan dengan nomor urut satu dan diberi bantuan dana kampanye.
Jika semua calon perempuan melakukan strategi ini, pasti parpol akan berpikir dua kali untuk menolak mas kawin itu. Sebab jika parpol tidak bisa menyiapkan 30 persen perempuan dalam daftar calegnya, maka sesuai dengan undang-undang parpol tersebut tidak akan bisa ikut pemilu. Maka mau tidak mau parpol akan menyediakan mas kawin sebagaimana diminta mempelai perempuan.
Memang tidak ada jaminan, bahwa nomor urut satu akan secara otomatis terpilih menjadi anggota legislatif. Namun data dari Puskapol FISIP UI menunjukkan bahwa 44 persen perempuan yang saat ini duduk di kursi DPR berasal dari nomor urut 1. Artinya, bahwa perempuan yang menempati nomor urut satu memiliki peluang lebih besar untuk terpilih. Bisa dibayangkan, jika setiap partai politik menempatkan perempuan pada nomor urut 1 maka jumlah perempuan di DPR akan meningkat cukup signifikan. 
Strategi lainnya yang tak kalah pentingnya adalah perlunya pendidikan politik bagi perempuan yang dilakukan secara masif. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak perempuan saat ini enggan terjun ke dunia politik karena minimnya pengetahuan mereka tentang politik dan faktor sosial budaya yang selama ini menghambat karir perempuan di bidang politik. Salah satu hasil terpenting dalam pendidikan politik secara masif ini adalah mempersiapkan para aktifis perempuan untuk bertarung dalam pemilu dan untuk duduk di kursi parlemen.
Jika upaya ini berhasil dilakukan, maka dalam lima tahun ke depan DPR kita akan terisi perempuan-perempuan yang tidak hanya lebih banyak jumlahnya, tetapi juga lebih berkualitas. Pada akhirnya diharapkan, perempuan-perempuan yang berkualitas ini akan berkontribusi secara signifikan pada kualitas kebijakan lembaga legislatif yang lebih baik.



Share this article :

Post a Comment