Home » » Menunggu oleh-oleh SBY dari Negeri Kangguru

Menunggu oleh-oleh SBY dari Negeri Kangguru

Written By Honest Dody Molasy on Wednesday, July 11, 2012 | 1:11 PM


Menunggu oleh-oleh SBY dari Negeri Kangguru

Honest Dody Molasy[1]
Dosen Ilmu Hubungan Internasional - Universitas Jember
Kandidat Doktor di Swinburne University Australia


Presiden Republik Indonesia Dr Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak kemarin bertemu dengan Perdana Menteri Australia Julia Gillard di Darwin Australia. Pertemuan dua Kepala Negara selama dua hari ini dibungkus dalam Pertemuan Tahunan Indonesia - Australia, sebuah pertemuan tingkat Kepala Negara yang akan diadakan setiap tahun. Kunjungan Presiden SBY ke Darwin ini merupakan pertemuan kedua, pertemuan pertama telah diselenggarakan di Bali pada tanggal 20 November 2011 yang tahun lalu.

Kedatangan Presiden SBY ke Australia kali ini mendapat apresiasi yang sangat luar biasa dari masyarakat Australia. Apalagi pertemuan kedua kepala negara ini dilakukan pada saat Australia menghadapi masalah serius di perbatasan. Ribuan pencari suaka setiap tahunnya datang ke Australia melalui perairan Indonesia yang sebagian besar dari mereka transit terlebih dahulu di Indonesia, sebelum meneruskan perjalanannya melalui laut ke Australia. Tidak sedikit dari ‘manusia perahu’ ini yang akhirnya tewas di Samudera Hindia, setelah perahu yang mereka tumpangi terbalik dihempas ombak. Tragedi terakhir terjadi pekan lalu, sebuah perahu yang berisi ratusan ‘manusia perahu’ terbalik dan menewaskan 90 orang. Mereka dalam perjalanan menuju Pulau Christmas di Selatan Pulau Jawa. Kejadian serupa juga terjadi akhir tahun lalu saat sebuah kapal imigran gelap terbalik dan terdampar di Pantai Selatan Jawa Timur dan menewaskan ratusan penumpangnya.

Di Australia, masalah imigran gelap dan pencari suaka tidak hanya menjadi masalah kemanusiaan belaka. Isu ini sudah berkembang menjadi isu politik yang sangat krusial. Apalagi menjelang pemilihan umum di Australia yang dijadwalkan sekitar bulan November tahun depan. Jullia Gillard yang memimpin partai buruh terancam terlempar dari kursi kekuasaannya, karena dianggap tidak berhasil menyelesaikan persoalan para imigran gelap ini. Sejumlah detention centre atau rumah tahanan imigrasi di Australia sudah penuh dan over-populasi. Proposal partai buruh pimpinan Julia Gillard untuk mengembalikan dan membangun pusat rehabilitasi para imigran gelap di Malaysia, beberapa hari lalu digagalkan oleh partai oposisi dalam sidang di Parlemen Australia.

Pemerintah Australia sangat berharap kepada Pemerintah Indonesia untuk membantu menyelesaikan persoalan imigran gelap ini. Apalagi Indonesia adalah tempat transit utama bagi para pencari suaka ini sebelum mereka berlayar ke Australia. Sejumlah opini di surat kabar dan televisi Australia hari ini memperbincangkan kemungkinan kerjasama itu. Mereka berharap pertemuan antara SBY dan Julia Gillard bisa menghasilkan rumusan yang kongkrit dan diharapkan Indonesia terlibat dalam upaya menyelesaikan persoalan imigran gelap. Pertemuan dua kepala negara ini juga diharapkan semakin mempererat hubungan diplomatik kedua negara yang selama ini mengalami pasang surut. Indonesia juga diharapkan untuk memberikan usulan kerjasama untuk meningkatkan perekonomian nasional.

Dalam sejarah, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia tidak sepenuhnya mulus. Australia pernah menjadi sahabat Indonesia, karena Australia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Namun antara tahun 1959 - 1962 hubungan Indonesia dan Australia memburuk saat Indonesia berjuang memperebutkan Irian Barat. Australia yang saat itu khawatir dengan perkembangan komunis di Indonesia berada di belakang Belanda  yang ingin menguasai kembali Irian Jaya. Namun hubungan ini membaik kembali, saat Australia mendukung keputusan PBB pada tahun 1962 yang memasukkan Irian Jaya sebagai Provinsi ke-26 Republik Indonesia.

Setahun kemudian, hubungan Indonesia-Australia memburuk kembali saat Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963-1965. Australia yang terikat kerjasama militer dengan Malaysia terlibat perang dengan tentara Indonesia di perbatasan Kalimantan. Hubungan kembali mencair saat Orde Baru mengambil alih kekuasaan, dan pada tahun 1967 Australia memberikan bantuan kepada pemerintah untuk membangun ekonomi Indonesia. Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi Indonesia, sejak tahun 1970-an Indonesia terutama Bali, menjadi tujuan utama wisatawan dari Australia. Bahkan di awal tahun 1980-an sebuah group musik asal Australia mempopulerkan lagu “I’ve been to Bali too” yang menjadi pertanda hubungan yang sangat akrab antara Indonesia-Australia.

Tahun 1998-1999 hubungan dua negara ini memburuk lagi, saat Australia mendukung kemerdekaan Timor Timur, yang akhirnya melalui referendum Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan berubah nama menjadi East Timor. Hubungan yang buruk ini tetap berlanjut karena Australia memimpin pasukan keamanan PBB yang tergabung dalam International Force in East Timor (disingkat INTERFET) yang bertugas mengembalikan perdamaian dan keamanan di East Timor. Australia menganggap tentara Indonesia dan masyarakat pro-integrasi terlibat aksi teror dan kekerasan di East Timor.

Meskipun kini hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia cukup membaik, namun kerap kali terjadi riak-riak politik. Banyak sekali persoalan diantara keduanya yang menjadi ‘api dalam sekam’ yang sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan dan memicu konflik antar dua negara bertetangga ini. Konflik Papua misalnya, persoalan ini menjadi isu yang sangat sensitif bagi Pemerintah Indonesia. Pemberian temporary visa bagi 42 warga papua yang mencari suaka ke Australia pada tahun 2006 memancing protes keras Pemerintah Indonesia kepada Australia. Bahkan Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Hasan Wirajuda memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Canberra sebagai protes kebijakan Pemerintah Australia itu. Selain itu masih banyak lagi isu-isu sensitif lainnya seperti perdagangan obat terlarang dan narkotika serta penegakan HAM yang sepatutnya dibicarakan dan diselesaikan secara hati-hati.

Peluang bagi Indonesia

Dari posisi Indonesia, bertetangga dengan Negara Industri maju seperti Australia akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ekonomi nasional. Tentu saja, jika peluang ini bisa ditangkap dan diimplementasikan secara baik. Selama ini, nampaknya keberadaan Australia sebagai negara maju kurang dirasakan manfaatnya oleh sejumlah provinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan perairan Australia. Kecuali Bali yang mendapatkan pemasukan yang cukup banyak dari kehadiran turis asal Australia, provinsi lainnya seperti NTB, NTT dan Papua nampaknya kurang mendapatkan revenue dari hubungan Indonesia-Australia. Ironisnya, tiga provinsi ini, justru termasuk provinsi termiskin di Indonesia. Setidaknya ada tiga kerjasama yang perlu dijajagi SBY dengan Pemerintah Australia dalam rangka meningkatkan kerjasama ekonomi dua negara, khususnya untuk meningkatkan ekonomi di tiga provinsi miskin yang paling dekat dengan Australia ini.

Pertama adalah kerjasama dalam bidang peternakan. Diakui atau tidak, Australia adalah negara yang cukup berhasil dalam mengembangkan industri peternakan. Saat ini Australia adalah negara terbesar kedua produsen daging sapi dan negara yang mendapat predikat negara paling efisien dalam industri peternakan. Tahun kemarin, Australia berhasil memproduksi 2,1 juta ton daging sapi dan 65% dari total produksinya dijual ke luar negeri, termasuk Indonesia. Karena efisiensi yang tinggi, harga daging sapi asal Australia ini lebih murah dari daging sapi lokal. Akibatnya, masuknya daging sapi asal Australia ini menyebabkan peternak lokal merugi dan banyak yang gulung tikar.

Usul untuk mengembangkan usaha peternakan bersama antara Australia dan Indonesia nampaknya penting untuk segera dilakukan. Salah satu caranya adalah dengan usaha penggemukan sapi asal Australia di Indonesia. Dalam program ini, Indonesia tidak lagi membeli daging sapi asal Australia, dan menggantinya dengan membeli sapi anakan asal Australia untuk di gemukkan di Indonesia, terutama di NTB dan NTT yang memiliki lahan yang cukup luas untuk usaha peternakan. Dengan demikian, kehadiran sapi-sapi asal Australia ini tidak merugikan peternak lokal, bahkan sebaliknya memberdayakan mereka.

Kerjasama kedua yang tak kalah pentingnya adalah kerjasama di bidang pertambangan. Australia adalah salah satu negara terkemuka di dunia di bidang industri  pertambangan. Bahkan pertambangan adalah salah satu kontributor terbesar bagi perekonomian Australia. Meski demikian, industri ini hanya menyerap 1,3 % saja pasar kerja di Australia. Salah satu penyebabnya adalah sedikitnya warga Australia yang memiliki skill khusus di bidang pertambangan. Sementara Indonesia memiliki sejumlah universitas yang bisa mencetak tenaga  siap pakai di bidang pertambangan seperti ITB, UGM dan sejumlah universitas lainnya. Kerjasama di bidang ketenaga kerjaan ini akan sangat menguntungkan keduabelah pihak. Di satu sisi akan menyerap kebutuhan kerja di Indonesia di lain sisi akan meningkatkan industri tambang di Australia.

Kerjasama ketiga yang perlu untuk dijajagi adalah kerjasama dibidang pertanian. Produksi pertanian Australia banyak berada di pantai timur bagian utara Benua Australia. Daerah ini adalah kawasan yang subur namun sangat rentan bencana alam, seperti  banjir dan angin topan. Beberapa kali harga buah dan sayur meroket naik setelah kawasan pertanian di Negara Bagian Queensland ini terkena hantaman badai dan banjir. Sementara di Indonesia, lahan pertanian sangat terbuka lebar. Sejumlah produk buah khas daerah tropis seperti pisang, pepaya dan mangga, juga sangat digemari di Australia. Pemerintah Indonesia sebenarnya bisa memfasilitasi untuk membuka lahan di NTT, NTB dan Papua untuk budidaya buah-buah tersebut yang dikhususkan untuk dipasarkan di Australia.  Tentu saja kontrak hitam di atas putih sangat dibutuhkan  untuk menjamin pemasaran hasil pertanian tersebut.

Pertemuan SBY dan Julia Gillard di Darwin adalah momen yang sangat tepat bagi pemerintah Indonesia untuk mengusulkan sejumlah rancangan kerjasama yang menguntungkan. Apalagi dalam suasana Pemerintah Australia sedang membutuhkan bantuan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan persoalan domestiknya, terutama menyangkut isu imigran gelap. Rakyat indonesiapun saat ini sedang menunggu oleh-oleh Pak SBY dari negeri kangguru ini. Mudah-mudahan oleh-oleh yang dibawa Pak SBY bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.





[1] Penulis bisa dihubungi di email : honest.molasy@live.vu.edu.au
Share this article :

Post a Comment