Latest Post

Mendulang Suara dengan Umpan Perempuan

Written By Honest Dody Molasy on Tuesday, May 7, 2013 | 4:42 PM


(Foto : Harian Terbit)




Mendulang Suara dengan Umpan Perempuan

Honest Dody Molasy
Dosen FISIP Universitas Jember
Kandidat Doktor Ilmu Politik di Swinburne University - Australia
(Artikel dimuat dalam Harian SINDO Mei 2013)


Di penghujung Bulan Maret ini, media massa kita dipenuhi oleh iklan partai politik (parpol) untuk menjaring calon anggota legislatif (caleg). Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan caleg potensial dan memiliki pengaruh dalam masyarakat untuk mendongkrak perolehan suara dalam pemilu tahun depan. Tidak hanya iklan di media massa, bak petugas marketing, para petinggi parpol di Jakarta juga banyak yang ‘turun gunung’ menjajakan kursi parlemen kepada tokoh-tokoh berpengaruh di daerah. Salah satu yang menjadi incaran mereka adalah caleg perempuan. Upaya parpol untuk menjaring tokoh-tokoh perempuan ini bukan tanpa alasan, sebab undang-undang dan aturan KPU mewajibkan setiap parpol untuk mencantumkan sedikitnya 30  persen perempuan dalam daftar caleg yang dikirim ke KPU tanggal 9 April nanti.
Kuota 30 persen perempuan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang adalah salah satu bentuk affirmative action untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen. Langkah ini sangat penting, karena sejak republik ini menyatakan kemerdekaannya di tahun 1945 hingga sekarang, jumlah perempuan di dalam parlemen masih sangat sedikit. Padahal demokrasi mensyaratkan adanya sistim perwakilan yang memungkinkan setiap kelompok dalam masyarakat terwakili. Tinggi rendahnya tingkat keterwakilan ini akan mempengaruhi tinggi rendahnya kualitas demokrasi.
Sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu terakhir tahun 2009, jumlah perempuan di kursi DPR memang mengalami peningkatan. Namun peningkatan prosentase perempuan di parlemen itu tidak cukup signifikan. Pada pemilu pertama tahun 1955 misalnya, hanya ada 17 perempuan dari 272 anggota parlemen saat itu, atau hanya sekitar 6.25 persen saja. Prosentase ini meningkat menjadi 9 persen pada pemilu 1999 dan 17.86 persen pada pemilu terakhir tahun 2009. Tentu saja prosentase ini sangat tidak sebanding dengan jumlah perempuan Indonesia yang mencapai 118.010.413 atau hampir separuh dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, Sensus Penduduk 2010).
Ketimpangan prosentase keterwakilan perempuan ini semakin nyata jika kita lihat data per-provinsi. Ada banyak provinsi di Indonesia yang ternyata tidak memiliki wakil perempuan yang duduk di DPR, misalnya Provinsi Aceh dan Bali. Belum lagi bila kita lihat jumlah perempuan di DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang prosentasenya jauh lebih sedikit dari perempuan di DPR RI. Demikian juga jika kita lihat per-parpol, dimana banyak parpol yang prosentase wakil perempuannya di parlemen masih sangat kecil. PKS misalnya, yang hanya memiliki sekitar 5 persen saja wakil perempuan di DPR RI.
Perempuan Hanya Sebagai Umpan
Faktor yang menjadi penghambat utama dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen adalah tidak adanya keseriusan parpol untuk memprioritaskan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif. Kenyataan ini bisa dibuktikan dengan kondisi parpol saat ini yang ‘kebingungan’ dalam menjaring perempuan untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif dan untuk memenuhi persyaratan kuota 30 persen perempuan. Koran Sindo misalnya, awal Maret lalu memberitakan pernyataan Ketua Umum PPP Suryadharma Alie yang mengaku kesulitan mencari kader perempuan untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan menjelang penyerahan Daftar Calon Sementara (DCS) pada tanggal 9 April mendatang. Kondisi yang sama saya kira juga dialami oleh parpol-parpol lainnya. Akibatnya, parpol cenderung asal comot saja dan asal memenuhi persyaratan undang-undang.  Akibatnya banyak perempuan yang dicalonkan parpol tidak terpilih dalam pemilu, dan kalaupun terpilih mereka tidak memiliki bekal dan kualitas yang cukup untuk dibawa dalam persidangan DPR.
Jika partai politik serius dalam mencalonkan perempuan untuk menduduki kursi parlemen, tentu mereka akan menyiapkan kader-kader perempuannya jauh-jauh hari sebelumnya. Para kader-kader perempuan ini seharusnya mendapatkan pelatihan khusus sehingga mereka siap bertarung saat pemilu. Apa yang parpol lakukan saat ini tak lebih hanya menempatkan perempuan sebagai umpan saja untuk mendapatkan ikan yang lebih besar. Umpan itu sendiri setelah pemilu akan lenyap dan yang diuntungkan hanyalah partai politik sebagai lembaga yang menebar pancing.
Dalam sebuah kesempatan, seorang pimpinan organisasi perempuan di Jawa Timur berkeluh kesah kepada saya. Saat ini sudah ada tiga partai politik yang melamarnya untuk menjadi caleg di DPRD Provinsi Jawa Timur, namun semua lamaran itu ia tolak. Alasannya karena tidak ada keseriusan dari parpol-parpol tersebut untuk mencalonkan dirinya. Salah satunya adalah tidak ada jaminan bahwa perempuan ditempatkan pada nomor urut 1 dalam daftar caleg yang akan diserahkan ke KPU. Tahun 2009 lalu dia mencalonkan diri, namun pada detik-detik terakhir namanya digeser ke daerah pemilihan (dapil) lain karena dia ternyata satu dapil dengan salah seorang petinggi partai. 
Tentu kesalahan tidak bisa kita timpakan pada parpol semata-mata. Sah-sah saja parpol menggunakan perempuan sebagai daya tarik untuk mendulang suara dalam pemilu, sebagaimana pabrik rokok menggunakan SPG cantik untuk melariskan barang dagangannya. Harusnya perempuan lebih cerdas jika mendapatkan tawaran dari parpol untuk menjadi calon legislatif. Ibarat mau menikah, perempuan hendaknya memasang mas kawin yang mahal yaitu dicalonkan dengan nomor urut satu dan diberi bantuan dana kampanye.
Jika semua calon perempuan melakukan strategi ini, pasti parpol akan berpikir dua kali untuk menolak mas kawin itu. Sebab jika parpol tidak bisa menyiapkan 30 persen perempuan dalam daftar calegnya, maka sesuai dengan undang-undang parpol tersebut tidak akan bisa ikut pemilu. Maka mau tidak mau parpol akan menyediakan mas kawin sebagaimana diminta mempelai perempuan.
Memang tidak ada jaminan, bahwa nomor urut satu akan secara otomatis terpilih menjadi anggota legislatif. Namun data dari Puskapol FISIP UI menunjukkan bahwa 44 persen perempuan yang saat ini duduk di kursi DPR berasal dari nomor urut 1. Artinya, bahwa perempuan yang menempati nomor urut satu memiliki peluang lebih besar untuk terpilih. Bisa dibayangkan, jika setiap partai politik menempatkan perempuan pada nomor urut 1 maka jumlah perempuan di DPR akan meningkat cukup signifikan. 
Strategi lainnya yang tak kalah pentingnya adalah perlunya pendidikan politik bagi perempuan yang dilakukan secara masif. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak perempuan saat ini enggan terjun ke dunia politik karena minimnya pengetahuan mereka tentang politik dan faktor sosial budaya yang selama ini menghambat karir perempuan di bidang politik. Salah satu hasil terpenting dalam pendidikan politik secara masif ini adalah mempersiapkan para aktifis perempuan untuk bertarung dalam pemilu dan untuk duduk di kursi parlemen.
Jika upaya ini berhasil dilakukan, maka dalam lima tahun ke depan DPR kita akan terisi perempuan-perempuan yang tidak hanya lebih banyak jumlahnya, tetapi juga lebih berkualitas. Pada akhirnya diharapkan, perempuan-perempuan yang berkualitas ini akan berkontribusi secara signifikan pada kualitas kebijakan lembaga legislatif yang lebih baik.



The Implementation of Islamic Law in Indonesia : What should We Learn from Suku Donggo

Written By Honest Dody Molasy on Wednesday, November 7, 2012 | 10:11 PM


‘Mori ro madena Dou  mbojo ake kai hokum Islam edeku’
(The Body and the Soul of Bimanese is Islamic law)


This Bimanese old adage is a manifestation of Bimanese big motivation to implement Islamic law in their daily activities. According to Hamzah (2004) Islamic Law and Adat law has been implemented in the Sultanate of Bima since its establishment in 1640. Since then Bima appear to be a powerful Islamic sultanate in Southeast Asia and produce many scholars and Islamic thinkers. However, since Bima dominated by the Netherlands in 1908 continued by Japan in 1942, and joined the Republic of Indonesia in 1945, the implementation of Syariah Law and Adat law in Bima has suffered a setback. Political reform and regional autonomy that began in 2000 revitalize the spirit of the Bimanese to revive Syariah law and the Adat law and formalize through the formal legal rules. Indigenous groups and Moslem organizations have publicly and vocally demanded the right to implement part of Islamic law and adat law in Bima.

(This article is part of my doctoral thesis)

Demokrasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah?

Written By Honest Dody Molasy on Tuesday, October 9, 2012 | 12:57 PM

RESENSI BUKU: Nalar Polotik NU dan Muhammadiyah

Oleh : Dwi Rahayu Ningsih



Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan dua organisasi massa Islam yang terbesar dan tertua di Indonesia. Muhammadiyah (berdiri pada 1912) dan NU (berdiri pada 1926) pada awalnya didirikan untuk lebih fokus pada persoalan-persoalan kehidupan sosial-keagamaan para anggotanya. Akan tetapi, sejarah perjalanan dua organisasi ini berkata beda. Semenjak teks proklamasi diproklamirkan oleh Ir. Sukarno, kinerja dua organisasi ini seakan beralih pada dunia politik, bahkan NU sempat memutuskan untuk menjadi partai politik pada era Orde Lama.

Bermula dari hal tersebut, benih-benih perpecahan mulai tumbuh di antra kedua organisasi tersebut. Ken Ward mencatat bahwa “dalih terakhir perpecahan antar keduanya adalah alokasi jabatan Kementrian Agama kepada orang-orang yang bukan NU dalam Kabinet Wilopo yang didominasi PNI/Masjumi.” (hal 2) Ini mengakibatkan persatuan muslim sebagai ummah di Indonesia menjadi terpecah. Pada akhirnya perpecahan ini melahirkan sesuatu yang kemudian dikenal sebagai Islam modernis yang diwakili Muhammadiyah versus Islam tradisionalis yang diwakili oleh NU. Sejak saat itu hingga sekarang, politik telah mendominasi hubungan antar keduanya.

Nah, menyimak buku ini, kita akan dihadapkan pada fakta-fakta terbaru mengenai peran penting Muhammadiyah dan NU dalam kehidupan politik dan proses demokratisasi di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru atau yang lazim dikenal dengan era Reformasi. Kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia ini tentu memiliki peran yang sangat penting dalam proses demokratisasi di negri ini. Terbukti, kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh kedua organisasi ini telah mampu mewarnai kehudupan politik di negri ini. Selain itu, kedua organisasi ini juga telah membantu proses pendewasaan para anggotanya untuk berdemokrasi.

Setelah era Reformasi dimulai, banyak para tokoh penting dari Muhammadiyah dan NU berbondong-bondong memasuki dunia politik. Bukan hanya itu, pada era ini sebagian besar tokoh dari dua organisasi ini bahkan juga mendorong untuk dibentuknya partai politik yang menjadi representasi dari organisasi massa Islam yang mereka anut. Oleh sebab itu, lahirlah Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai akibat dari dorongan para tokoh Muhammadiyah dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai akibat dari dorongan para tokoh NU.

Pemilu pasca runtuhnya rezim Orde Baru diikuti oleh banyak partai politik termasuk partai-partai yang berafilasi dengan Muhammadiyah dan NU. Hal itu menimbulkan persepsi negatif terhadap kedua organisasi tersebut. Seringkali jumlah perolehan suara dari pertai-partai ini, baik dalam pemilu legislatif maupun presiden, dianggap sebagai representasi dari jumlah pengikut kedua organisasi tersebut. Ini tentu saja tidak bisa dianggap benar. Pasalnya, loyalitas para anggota Muhammadiyah dan NU pada partai-partai yang berafilasi dengan keduanya tidak sekuat loyalitas mereka kepada organisasi social-keagamaan yang mereka anut. Selain itu, Muhammadiyah dan NU juga memberi kelonggaran terhadap anggotanya dalam menentukan pilihan politiknya. Banyak bahkan mencapai angka puluhan juta orang anggota dari kedua organisasi tersebut tidak menyumbangkan hak pilihnya kepada PAN maupun PKB.

Buku setebal 448 halaman ini lebih menarik daripada tulisan-tulisan mengenai Muhammadiyah dan NU sebelumnya. Ini disebabkan karena eksplorasi kajian dalam buku ini adalah mengenai Muhammadiyah dan NU yang ada di luar Jawa. Buku ini menghadirkan data-data dan fakta-fakta terbaru yang berhubungan dengan peran penting kedua organisasi ini dalam kehidupan politik dan proses demokratisasi di negri ini khususnya untuk daerah luar Jawa. Tentu saja, hal tersebut membuat buku ini telah berhasil menjawab tentang realitas yang berbeda dari persepsi umum tentang Muhammadiyah dan NU yang selama ini dibiarkan tidak terjawab oleh sebagian peneliti sebelumnya.

Buku yang berjudul Nalar Politik NU dan Muhammadiyah ini ditulis oleh Dr. Suaidi Asyari, MA, Ph.D. Buku ini dia tulis dengan menggunakan metodologi komparatif yang menuntut penulisnya untuk menempatkan kedua objek kajianya pada tataran yang sama supaya nanti tidak menghasilkan kesimpulan yang tidak dangkal dan berat sebelah. Ini tentu sangat sulit untuk dilakukan, apalagi penulisnya sendiri memiliki latar belakang NU yang sangat kental. Akan tetapi, Suaidi telah berhasil menjaga sifat ojektif dalam kajiannya tentang dua organisasi masa Islam terbesar di Indonesia tersebut, walaupun tidak jarang dia membuat sejumlah generalisasi dalam kajiannya.

Selanjutnya, terhitung hanya satu persoalan yang menjadi pokok pembahasan dalam buku ini, yaitu seberapa besar loyalitas keagamaan mempengaruhi kebebasan individu para penganutnya dalam mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi. Akan tetapi, untuk menjawab itu buku ini menyajikan pengantar umum tentang Muhammadiyah dan NU pada bab dua dan tiga. Sedangkan pada bab empat hingga enam, pembaca akan diajak untuk menilik kembali sejarah panjang pengalaman dua organisasi tersebut menyelami kehidupan politik di negri ini. Barulah pada bab tujuh dan delapan buku ini akan menjawab pokok pembahasan yang diangkatnya. Dengan demikian, pembaca akan lebih mudah dan secara mendalam memahami maksud dari tujuan dituliskannya buku ini.

Akhirnya, terlepas dari kekurangan-kekurangannya, buku ini amat penting untuk dibaca, apalagi saat ini studi Islam semakin didominasi oleh dikotomi “radikal” versus “moderat”. Muhammadiyah dan NU merupakan representasi mainstream dari Islam moderat dan toleran di Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan buku ini dapat menjadi semangat untuk membangun dan meneguhkan kembali eksistensi Islam moderat yang rahmatan lil’alamin dan mendukung nilai-nilai demokrasi.(*)

Judul : Nalar Politik NU & Muhammadiyah
Penulis : Dr. Suaidi Asyari, MA, Ph.D
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I 2009
Tebal : xxiv + 448 halaman



* Dwi Rahayu Nigsih adalah mahasiswa Perbandingan Agama Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Lima Ruangan di STKIP Bima Hangus Terbakar


BIMA - Kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima, Nusa Tenggara Barat, dini hari tadi hangus dilalap si Jago Merah. Sedikitnya lima ruangan hangus. Lima ruangan itu adalah satu kantor Program Studi Pendidikan Ekonomi, tiga ruangan perkuliahan, dan satu kantor Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian “Gong 96”. Kerugian akibat kebakaran ini diperkirakan mencapai Rp500 juta. Menurut seorang saksi mata, Amin, kebakaran terjadi sekira pukul 02.10 Wita. Api berasal dari salah satu ruang kantor dengan cepat menjalar ke ruang lainnya karena embusan angin yang kuat. Sampai sekria pukul 05.00 Wita, empat mobil pemadam kebakaran Pemkot Bima masih berupaya menjinakkan api. Sementara itu, puluhan warga juga ikut membantu memadamkan api dengan peralatan seadanya.

Ada dugaan unsur kesengajaan dalam kasus kebakaran ini. Diduga kuat pembakaran dilatarbelakangi kasus perusakan kantor UKM “Gong 96” dan pembacokan oleh mahasiswa pada Jumat pekan lalu. Kasus ini dipicu oleh percekcokan antara aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STKIP dan pegiat seni di UKM Gong 96 serta mahasiswa Pecinta Alam (mapala). Percekcokan memuncak menjadi aksi saling lempar batu dan pembacokan. Akibatnya, salah seorang pengurus BEM, Iron (20), terkapar dan sampai saat ini masih dirawat di RSUD Bima. Tidak terima dengan pembacokan, puluhan anggota BEM melakukan aksi balasan.

Dengan mambawa tombak dan parang, mereka mengejar aktivis mapala dan Gong 96. Mereka juga melakukan sweeping terhadap anggota dua organisasi ini. Aksi berakhir dengan perusakan sekretariat UKM Gong 96. Sampai saat ini, kondisi kampus STKIP masih menegangkan. Puluhan polisi berjaga-jaga di sekitar lokasi kebakaran. Tidak tampak adanya aktivitas perkuliahan. Beberapa mahasiswa yang hendak kuliah hanya bisa tertegun melihat kampus mereka menjadi arang dan kembali pulang. Sampai saat ini belum ada pernyataan resmi dari pimpinan STKIP maupun dari Kepolisian terhadap insiden ini. Berita ditulis di okezone.com

Menunggu oleh-oleh SBY dari Negeri Kangguru

Written By Honest Dody Molasy on Wednesday, July 11, 2012 | 1:11 PM


Menunggu oleh-oleh SBY dari Negeri Kangguru

Honest Dody Molasy[1]
Dosen Ilmu Hubungan Internasional - Universitas Jember
Kandidat Doktor di Swinburne University Australia


Presiden Republik Indonesia Dr Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak kemarin bertemu dengan Perdana Menteri Australia Julia Gillard di Darwin Australia. Pertemuan dua Kepala Negara selama dua hari ini dibungkus dalam Pertemuan Tahunan Indonesia - Australia, sebuah pertemuan tingkat Kepala Negara yang akan diadakan setiap tahun. Kunjungan Presiden SBY ke Darwin ini merupakan pertemuan kedua, pertemuan pertama telah diselenggarakan di Bali pada tanggal 20 November 2011 yang tahun lalu.

Kedatangan Presiden SBY ke Australia kali ini mendapat apresiasi yang sangat luar biasa dari masyarakat Australia. Apalagi pertemuan kedua kepala negara ini dilakukan pada saat Australia menghadapi masalah serius di perbatasan. Ribuan pencari suaka setiap tahunnya datang ke Australia melalui perairan Indonesia yang sebagian besar dari mereka transit terlebih dahulu di Indonesia, sebelum meneruskan perjalanannya melalui laut ke Australia. Tidak sedikit dari ‘manusia perahu’ ini yang akhirnya tewas di Samudera Hindia, setelah perahu yang mereka tumpangi terbalik dihempas ombak. Tragedi terakhir terjadi pekan lalu, sebuah perahu yang berisi ratusan ‘manusia perahu’ terbalik dan menewaskan 90 orang. Mereka dalam perjalanan menuju Pulau Christmas di Selatan Pulau Jawa. Kejadian serupa juga terjadi akhir tahun lalu saat sebuah kapal imigran gelap terbalik dan terdampar di Pantai Selatan Jawa Timur dan menewaskan ratusan penumpangnya.

Di Australia, masalah imigran gelap dan pencari suaka tidak hanya menjadi masalah kemanusiaan belaka. Isu ini sudah berkembang menjadi isu politik yang sangat krusial. Apalagi menjelang pemilihan umum di Australia yang dijadwalkan sekitar bulan November tahun depan. Jullia Gillard yang memimpin partai buruh terancam terlempar dari kursi kekuasaannya, karena dianggap tidak berhasil menyelesaikan persoalan para imigran gelap ini. Sejumlah detention centre atau rumah tahanan imigrasi di Australia sudah penuh dan over-populasi. Proposal partai buruh pimpinan Julia Gillard untuk mengembalikan dan membangun pusat rehabilitasi para imigran gelap di Malaysia, beberapa hari lalu digagalkan oleh partai oposisi dalam sidang di Parlemen Australia.

Pemerintah Australia sangat berharap kepada Pemerintah Indonesia untuk membantu menyelesaikan persoalan imigran gelap ini. Apalagi Indonesia adalah tempat transit utama bagi para pencari suaka ini sebelum mereka berlayar ke Australia. Sejumlah opini di surat kabar dan televisi Australia hari ini memperbincangkan kemungkinan kerjasama itu. Mereka berharap pertemuan antara SBY dan Julia Gillard bisa menghasilkan rumusan yang kongkrit dan diharapkan Indonesia terlibat dalam upaya menyelesaikan persoalan imigran gelap. Pertemuan dua kepala negara ini juga diharapkan semakin mempererat hubungan diplomatik kedua negara yang selama ini mengalami pasang surut. Indonesia juga diharapkan untuk memberikan usulan kerjasama untuk meningkatkan perekonomian nasional.

Dalam sejarah, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia tidak sepenuhnya mulus. Australia pernah menjadi sahabat Indonesia, karena Australia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Namun antara tahun 1959 - 1962 hubungan Indonesia dan Australia memburuk saat Indonesia berjuang memperebutkan Irian Barat. Australia yang saat itu khawatir dengan perkembangan komunis di Indonesia berada di belakang Belanda  yang ingin menguasai kembali Irian Jaya. Namun hubungan ini membaik kembali, saat Australia mendukung keputusan PBB pada tahun 1962 yang memasukkan Irian Jaya sebagai Provinsi ke-26 Republik Indonesia.

Setahun kemudian, hubungan Indonesia-Australia memburuk kembali saat Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963-1965. Australia yang terikat kerjasama militer dengan Malaysia terlibat perang dengan tentara Indonesia di perbatasan Kalimantan. Hubungan kembali mencair saat Orde Baru mengambil alih kekuasaan, dan pada tahun 1967 Australia memberikan bantuan kepada pemerintah untuk membangun ekonomi Indonesia. Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi Indonesia, sejak tahun 1970-an Indonesia terutama Bali, menjadi tujuan utama wisatawan dari Australia. Bahkan di awal tahun 1980-an sebuah group musik asal Australia mempopulerkan lagu “I’ve been to Bali too” yang menjadi pertanda hubungan yang sangat akrab antara Indonesia-Australia.

Tahun 1998-1999 hubungan dua negara ini memburuk lagi, saat Australia mendukung kemerdekaan Timor Timur, yang akhirnya melalui referendum Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan berubah nama menjadi East Timor. Hubungan yang buruk ini tetap berlanjut karena Australia memimpin pasukan keamanan PBB yang tergabung dalam International Force in East Timor (disingkat INTERFET) yang bertugas mengembalikan perdamaian dan keamanan di East Timor. Australia menganggap tentara Indonesia dan masyarakat pro-integrasi terlibat aksi teror dan kekerasan di East Timor.

Meskipun kini hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia cukup membaik, namun kerap kali terjadi riak-riak politik. Banyak sekali persoalan diantara keduanya yang menjadi ‘api dalam sekam’ yang sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan dan memicu konflik antar dua negara bertetangga ini. Konflik Papua misalnya, persoalan ini menjadi isu yang sangat sensitif bagi Pemerintah Indonesia. Pemberian temporary visa bagi 42 warga papua yang mencari suaka ke Australia pada tahun 2006 memancing protes keras Pemerintah Indonesia kepada Australia. Bahkan Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Hasan Wirajuda memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Canberra sebagai protes kebijakan Pemerintah Australia itu. Selain itu masih banyak lagi isu-isu sensitif lainnya seperti perdagangan obat terlarang dan narkotika serta penegakan HAM yang sepatutnya dibicarakan dan diselesaikan secara hati-hati.

Peluang bagi Indonesia

Dari posisi Indonesia, bertetangga dengan Negara Industri maju seperti Australia akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ekonomi nasional. Tentu saja, jika peluang ini bisa ditangkap dan diimplementasikan secara baik. Selama ini, nampaknya keberadaan Australia sebagai negara maju kurang dirasakan manfaatnya oleh sejumlah provinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan perairan Australia. Kecuali Bali yang mendapatkan pemasukan yang cukup banyak dari kehadiran turis asal Australia, provinsi lainnya seperti NTB, NTT dan Papua nampaknya kurang mendapatkan revenue dari hubungan Indonesia-Australia. Ironisnya, tiga provinsi ini, justru termasuk provinsi termiskin di Indonesia. Setidaknya ada tiga kerjasama yang perlu dijajagi SBY dengan Pemerintah Australia dalam rangka meningkatkan kerjasama ekonomi dua negara, khususnya untuk meningkatkan ekonomi di tiga provinsi miskin yang paling dekat dengan Australia ini.

Pertama adalah kerjasama dalam bidang peternakan. Diakui atau tidak, Australia adalah negara yang cukup berhasil dalam mengembangkan industri peternakan. Saat ini Australia adalah negara terbesar kedua produsen daging sapi dan negara yang mendapat predikat negara paling efisien dalam industri peternakan. Tahun kemarin, Australia berhasil memproduksi 2,1 juta ton daging sapi dan 65% dari total produksinya dijual ke luar negeri, termasuk Indonesia. Karena efisiensi yang tinggi, harga daging sapi asal Australia ini lebih murah dari daging sapi lokal. Akibatnya, masuknya daging sapi asal Australia ini menyebabkan peternak lokal merugi dan banyak yang gulung tikar.

Usul untuk mengembangkan usaha peternakan bersama antara Australia dan Indonesia nampaknya penting untuk segera dilakukan. Salah satu caranya adalah dengan usaha penggemukan sapi asal Australia di Indonesia. Dalam program ini, Indonesia tidak lagi membeli daging sapi asal Australia, dan menggantinya dengan membeli sapi anakan asal Australia untuk di gemukkan di Indonesia, terutama di NTB dan NTT yang memiliki lahan yang cukup luas untuk usaha peternakan. Dengan demikian, kehadiran sapi-sapi asal Australia ini tidak merugikan peternak lokal, bahkan sebaliknya memberdayakan mereka.

Kerjasama kedua yang tak kalah pentingnya adalah kerjasama di bidang pertambangan. Australia adalah salah satu negara terkemuka di dunia di bidang industri  pertambangan. Bahkan pertambangan adalah salah satu kontributor terbesar bagi perekonomian Australia. Meski demikian, industri ini hanya menyerap 1,3 % saja pasar kerja di Australia. Salah satu penyebabnya adalah sedikitnya warga Australia yang memiliki skill khusus di bidang pertambangan. Sementara Indonesia memiliki sejumlah universitas yang bisa mencetak tenaga  siap pakai di bidang pertambangan seperti ITB, UGM dan sejumlah universitas lainnya. Kerjasama di bidang ketenaga kerjaan ini akan sangat menguntungkan keduabelah pihak. Di satu sisi akan menyerap kebutuhan kerja di Indonesia di lain sisi akan meningkatkan industri tambang di Australia.

Kerjasama ketiga yang perlu untuk dijajagi adalah kerjasama dibidang pertanian. Produksi pertanian Australia banyak berada di pantai timur bagian utara Benua Australia. Daerah ini adalah kawasan yang subur namun sangat rentan bencana alam, seperti  banjir dan angin topan. Beberapa kali harga buah dan sayur meroket naik setelah kawasan pertanian di Negara Bagian Queensland ini terkena hantaman badai dan banjir. Sementara di Indonesia, lahan pertanian sangat terbuka lebar. Sejumlah produk buah khas daerah tropis seperti pisang, pepaya dan mangga, juga sangat digemari di Australia. Pemerintah Indonesia sebenarnya bisa memfasilitasi untuk membuka lahan di NTT, NTB dan Papua untuk budidaya buah-buah tersebut yang dikhususkan untuk dipasarkan di Australia.  Tentu saja kontrak hitam di atas putih sangat dibutuhkan  untuk menjamin pemasaran hasil pertanian tersebut.

Pertemuan SBY dan Julia Gillard di Darwin adalah momen yang sangat tepat bagi pemerintah Indonesia untuk mengusulkan sejumlah rancangan kerjasama yang menguntungkan. Apalagi dalam suasana Pemerintah Australia sedang membutuhkan bantuan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan persoalan domestiknya, terutama menyangkut isu imigran gelap. Rakyat indonesiapun saat ini sedang menunggu oleh-oleh Pak SBY dari negeri kangguru ini. Mudah-mudahan oleh-oleh yang dibawa Pak SBY bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.





[1] Penulis bisa dihubungi di email : honest.molasy@live.vu.edu.au

Written By Honest Dody Molasy on Thursday, January 12, 2012 | 12:42 AM


Oleh Honest Dody Molasy
Konflik antara masyarakat dan pemerintah tampaknya semakin memanas di pengujung tahun 2011 ini. Baru saja kita dihebohkan dengan konflik Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan, Sabtu pagi (24/12) di Bima, Nusa Tenggara Barat, meledak bentrokan antara masyarakat dan polisi.
Data jumlah korban pun simpang siur, versi pemerintah sampai Sabtu siang, setidaknya ada dua orang dinyatakan tewas tertembus peluru polisi, sementara versi masyarakat ada 12 korban tewas yang semuanya adalah warga Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima.Selain itu,belasan korban dirawat di sejumlah rumah sakit dan puskesmas di Kabupaten Bima. Kantor Polsek Lambu dan sejumlah kantor pemerintahan juga ikut dirusak massa sebagai aksi balas dendam terhadap aksi polisi yang melakukan penembakan.
Konflik yang terjadi di Bima ini sebenarnya adalah satu dari sekian banyak kasus pertambangan di Kabupaten Bima. Konflik serupa juga terjadi di pertambangan pasir besi di Kecamatan Wera dan Kecamatan Soromandi, tambang emas di Kecamatan Prado, bahkan di Kota Bima juga terjadi penolakan pertambangan marmer.Meledaknya konflik pertambangan emas di Kecamatan Lambu, Sape, dan Langgudu ini dikhawatirkan akan memunculkan aksi serupa di daerah-daerah rawan konflik lainnya. Konflik ini juga cukup unik.
Pertama karena terjadi di kantong pendukung bupati terpilih Ferry Zulkarnain ST. Di Kecamatan Lambu misalnya, Bupati Ferry mendapat dukungan lebih dari 70% pada Pilkada 2009 lalu.Belum genap dua tahun pemerintahan Bupati Ferry, warga Kecamatan Lambu menentang kebijakan bupati terpilih. Kedua,dalam sejarah Kesultanan Bima sejak pemerintahan sultan pertama Abdul Kahir (1621), sampai sultan terakhir Sultan Muhammad Shalahudin (1951) penduduk kawasan timur Bima ini adalah pendukung setia kesultanan. Kini saat cucu Sultan Shalahudin mengambil alih kekuasaan sebagai Bupati Bima,muncul aksi kekerasan yang berujung pada bentrok berdarah antara masyarakat dan aparat keamanan.
Kenapa Terjadi?
Konflik ini sebenarnya muncul sejak awal 2011 lalu, dipicu oleh kegiatan eksplorasi tambang yang dilakukan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di sejumlah titik di tiga kecamatan di Kabupaten Bima, yaitu Kecamatan Lambu, Kecamatan Sape, dan Kecamatan Langgudu. Ketiga kecamatan ini terletak di areal perbukitan di ujung timur Pulau Sumbawa, berbatasandenganProvinsiNusa Tenggara Timur (NTT). Kegiatan eksplorasi ini mengganggu aktivitas masyarakat setempat, yang sebagian besar berprofesi sebagai peternak dan petani bawang.
Kegiatan eksplorasi yang dilakukan PT SMN ini didasarkan pada Surat Keputusan Bupati Bima Nomor 188.45/357 /004/2010 yang intinya memberikan penyesuaian izin usaha pertambangan eksplorasi kepada PT MSN. Munculnya SK Bupati yang kemudian dikenal dengan sebutan SK 188 ini menimbulkan amarah masyarakat karena masyarakat tidak pernah diajak bicara tentang persoalan pertambangan ini.Sejumlah kepala desa juga mengaku tidak tahu tentang munculnya SK 188 ini, bahkan DPRD juga tidak diajak bicara soal penerbitan SK pertambangan ini.
Di sinilah kemudian muncul gerakan penolakan pertambangan emas di Bima Timur ini. Beberapa kali masyarakat menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan Bupati Bima, Ferry Zulkarnain ST,tetapi pertemuan itu belum juga terwujud. Kejengkelan masyarakat kemudian dilampiaskan dengan membakar Kantor Kecamatan Lambu pada 10 Februari 2011 lalu. Setidaknya ada lima kekhawatiran masyarakat terhadap kegiatan pertambangan emas di wilayah mereka. Pertama, proses pertambangan dikhawatirkan akan merusak ladang dan areal penggembalaan hewan ternak.
Kedua, lokasi pertambangan berdasarkan peta dalam lampiran SK 188 memasukkan juga areal hutan lindung. Ketiga, lokasi pertambangan juga memasukkan areal permukiman warga.Keempat,di dalam areal pertambangan juga terdapat sejumlah tempat keramat yang sangat dihormati secara adat oleh warga setempat. Kelima, pertambangan juga dikhawatirkan akan merusak mata air dan satu-satunya sungai yang mengairi ladang-ladang masyarakat.
Komunikasi Politik yang Tidak Jalan
Tampaknya, pecahnya konflik antara masyarakat dan pemerintah ini sebagai akibat dari macetnya komunikasi politik antara masyarakat dan Bupati. Sejak meletusnya kasus tambang di ujung timur Pulau Sumbawa ini, belum pernah dilakukan komunikasi antara masyarakat dan Bupati Bima. Masing-masing mengklaim dirinya paling benar bersandar pada alasan dan argumentasi sendiri-sendiri.
Pihak pemerintah mengklaim bahwa tambang akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapat daerah serta diyakini akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Sementara masyarakat merasa dirinya telah ditipu pemerintah daerah karena dalam proses penerbitan SK 188, rakyat sama sekali tidak pernah dilibatkan.DPRD pun tidak berhasil menjembatani aspirasi rakyat. Meskipun konflik sudah berjalan hampir setahun,belum ada pernyataan resmi dari DPRD terkait tuntutan masyarakat ini.
Tampaknya perlu mediator untuk menjembatani pertikaian antara masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Bima.Setidaknya ada dua alasan kenapa mediator ini diperlukan. Pertama, saat ini terjadi krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan alat-alat pemerintah. Apalagi polisi telah melakukan gerakan represif terhadap aksi demonstrasi masyarakat yang mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka. Kedua, mediator diperlukan untuk menciptakan suasana yang kondusif agar terjadi dialog antara masyarakat dan Bupati Bima.
Dialog ini adalah cara satu-satunya untuk menyelesaikan konflik pertambangan ini dengan damai.Pendekatan kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan dengan tuntas, bahkan sebaliknya akan memunculkan persoalan baru. Sejumlah tokoh ulama, tokoh adat, dan tokoh sepuh keluarga Istana Bima yang tampaknya masih dihormati dan disegani masyarakat perlu untuk tampil ke depan menjadi mediator dalam menyelesaikan konflik yang cukup rumit ini.
Munculnya tokoh-tokoh ini diharapkan mampu menata kembali masyarakat yang karut-marut akibat konflik berkepanjangan antara masyarakat dan pemerintah daerah. Sementara proses dialog dan negosiasi sedang dilakukan, polisi dan aparat keamanan diharapkan untuk menahan diri,tidak melakukan kegiatan yang memancing emosi masyarakat. (Sumber: Seputar Indonesia, 26 Desember 2011).
Tentang penulis:
Honest Dody Molasy, Kandidat Doktor di Swinburne University of Technology, Australia; Sedang Melakukan Penelitian di Bima, NTB.

Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926

Written By Honest Dody Molasy on Tuesday, March 4, 2008 | 12:55 PM

The traditionalist Muslim Nahdlatul Ulama (NU) is Indonesia's largest organisation. Credibly claiming the loyalties of twenty or thirty million Indonesians, it is also the largest organisation of its kind in the Muslim world, even if the number of dues-paying members is but a small minority of that figure. In contrast to the modernist Muslim movements and organisations, however, NU is relatively little studied. There is no published monograph in any European language yet (although several are under way now). A number of books on NU Indonesian have recently appeared, however, of which the two books under review are the most interesting.
Both books give a summary overview of the history of the organisation but concentrate primarily on the important decisions taken in the mid-1980s: the acceptance by NU of the state ideology Pancasila as its one and only foundation (asas tunggal) and its loosening of the organic ties linking it with the Muslim political party PPP. These decisions amounted to emphatic declarations of loyalty and obedience to the Suharto regime, a clear foreswearing of the oppositional attitude of the 1970s. To some observers it appeared that the NU had returned to its opportunism of the Sukarno period. It was, in fact, obvious that the decisions were taken under heavy pressure by the government. At the same time, however, these decisions also presented themselves as the logical consequences of a process of soul-searching among reform-minded, committed NU members that had started well before the pressure was on.
Both Sitompul's and Marijan's books have received an imprimatur in the form of a laudatory preface by a prominent NU leader. It is perhaps not surprising that their interpretation of the events largely follows that of NU's apologists. They uncritically repeat the claim that the accommodating attitude of the 1980s does not represent a break with the uncompromising one of the 1970s, and that both were rooted in fiqh, Islamic jurisprudence, applied to different situations. As a result, they pay relatively little attention to the sheer pressure exerted by the authorities in order to force NU into compliance.
Einar Sitompul is a Protestant theologian, and he wrote the book under review as his master's thesis. Pancasila may represent different things to different people, but for Indonesia's non-Muslims it means first of all a guarantee against the idea of an Islamic state in which they would be reduced to second-class citizens. The formal acknowledgement by NU that in social and political matters Pancasila rather than Islamic ideology will be its guiding principle was obviously reassuring. (Christian organisations, however, hesitated much longer before finally declaring Pancasila their "one-and-only foundation", showing their awareness that it was not simply a matter of harmonious inter-religious relations.) Sitompul attempts to show, as Abdurrahman Wahid has done in numerous newspaper columns, that tolerance toward other faiths and an all-embracing Indonesian patriotism is part and parcel of NU's tradition, and that the 1984 decision to proclaim Pancasila as its one-and-only "foundation" simply formalised what had always been NU's attitude anyway. He pays little attention to the process of redefining key terms in the Pancasila debate that made this proclamation palatable to the NU elite, and none at all to the pain and sense of betrayal this decision caused many.
Ironically, one of the government's chief reasons for imposing ideological conformity upon the nation and obliging social and political associations to formally renounce all ideological commitments apart from Pancasila was precisely NU's oppositional stand in the 1978 session of the MPR. NU's deputies (who were part of the PPP group) opposed legislation concerning Pancasila indoctrination courses; they were particularly offended by a passage in Pancasila course books declaring all five officially recognised religions equally good. They also vehemently protested a related piece of legislation granting a form of recognition to mystical sects (aliran kepercayaan), which in a sense are competitors of the great religions. In the view of many Muslims, it should be noted, Pancasila as interpreted by the Suharto regime reflected a kepercayaan mentality that was not entirely reconcilable with conscientious Islam. Realising they could not stop this legislation, the NU deputies, followed by the other members of the PPP group, walked out of the assembly. This was the most radical form of protest seen in this body during the New Order, and in the government view a grave violation of Pancasila democracy. In 1980 NU once again staged a walk-out from parliament, this time to protest undemocratic provisions in the new election law. This, it appears, was the last straw for Suharto, who henceforth was determined not to allow any other ideology -- religious, socialist, liberal, or whatever -- beside Pancasila.
The change from partial rejection of Pancasila in the 1970s to its adoption as the exclusive ideological orientation in the 1980s was more dramatic than Sitompul's account suggests. Because of his emphasis on continuity, he does not -- at least not explicitly -- address the question of what caused this change. His treatment of the break with PPP also remains rather superficial. He appears to take the explanations of apologists of the present policy at face value. NU's involvement in practical politics was, in this view, a mistake that caused the organisation to deviate from its original course (the "khittah" of founding year 1926) as an apolitical association with religious and social aims. Sitompul does mention some of the events that led to a disenchantment with PPP, but he does not attempt to place them in an explanatory framework, nor does he consider that within NU there are different interpretations of the same events. Interviews with the various factions within NU might have given him a different perspective. The book however is exclusively based on published written materials. It is useful because it gives a readable synthesis of what has been written before, without however offering a new analysis or interpretation.
Marijan's book is not very analytical either but it is more informative on the internal dynamics of NU. The author, a young political scientist at Surabaya's Airlangga University, is more of an insider, being of NU family background himself and having interviewed various members of the NU elite. Like Sitompul, he writes a straight-forward narrative history without much critical reflection, but he is more aware of the various factions within NU and of the less visible pressures exerted by the regime. He is to my knowledge the first author to describe in some detail the meetings and lobbying of young reformers (including Abdurrahman Wahid but also some who later fell out with him) seeking to redefine NU's mission, but he also leaves little doubt that the break with PPP was demanded by the regime. Describing how toward the 1987 elections leading NU members were seen campaigning against PPP rather than simply remaining neutral, Marijan comments that NU was obliged to prove to the government that its break with PPP was for real and not just a cosmetic measure.
Marijan also gives a glimpse of the ambiguities in the slogan of "return to the khittah of 1926", which does not for everybody mean a departure from practical politics. For the group that became dominant it did mean a clean break with PPP, but many NU members remained active in that party, and others who turned against PPP dreamt of NU's becoming a party in its own right again. For others, return to the khittah meant that the organisation should be controlled by the ulama father than Jakartan politicians. (These people initially placed their hopes in Abdurrahman Wahid but were soon disappointed.) The question in Marijan's title (Quo vadis?) probably refers to the existence of these conflicting interpretations of what course NU had taken at its crucial 1984 congress. He does not really address that question nor attempt to sketch possible scenarios or chart likely courses for the near future. However, the reader with that question in mind will find much useful information in this book.
-----------------------------
Named Works: Quo Vadis NU Setelah Kembali Ke Khittah 1926 (Book) Book reviews
Source Citation:Bruinessen, Martin van. "Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926." Journal of Southeast Asian Studies 25.n2 (Sept 1994): 419(3). Expanded Academic ASAP. Gale. Victoria University. 25 Sept. 2007
.
Title:Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926.
Author(s):Martin van Bruinessen.
Source:Journal of Southeast Asian Studies 25.n2 (Sept 1994): pp419(3). (1328 words)
Document Type:Magazine/Journal
Library Links:
Full Text :COPYRIGHT 1994 Singapore University Press Pte. Ltd. (Singapore)
By KACUNG MARIJAN. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992. Pp. xxvii, Appendices, Bibliography. [In Indonesian.]