(Foto : Harian Terbit)
Mendulang Suara dengan Umpan Perempuan
Honest Dody Molasy
Dosen FISIP Universitas Jember
Kandidat Doktor Ilmu Politik di Swinburne University - Australia
(Artikel dimuat dalam Harian SINDO Mei 2013)
Di
penghujung Bulan Maret ini, media massa kita dipenuhi oleh iklan partai politik
(parpol) untuk menjaring calon anggota legislatif (caleg). Mereka
berlomba-lomba untuk mendapatkan caleg potensial dan memiliki pengaruh dalam
masyarakat untuk mendongkrak perolehan suara dalam pemilu tahun depan. Tidak
hanya iklan di media massa, bak petugas
marketing, para petinggi parpol di Jakarta juga banyak yang ‘turun gunung’
menjajakan kursi parlemen kepada tokoh-tokoh berpengaruh di daerah. Salah satu
yang menjadi incaran mereka adalah caleg perempuan. Upaya parpol untuk
menjaring tokoh-tokoh perempuan ini bukan tanpa alasan, sebab undang-undang dan
aturan KPU mewajibkan setiap parpol untuk mencantumkan sedikitnya 30 persen perempuan dalam daftar caleg yang
dikirim ke KPU tanggal 9 April nanti.
Kuota 30
persen perempuan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang adalah salah satu
bentuk affirmative action untuk
meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen. Langkah ini sangat penting,
karena sejak republik ini menyatakan kemerdekaannya di tahun 1945 hingga
sekarang, jumlah perempuan di dalam parlemen masih sangat sedikit. Padahal
demokrasi mensyaratkan adanya sistim perwakilan yang memungkinkan setiap
kelompok dalam masyarakat terwakili. Tinggi rendahnya tingkat keterwakilan ini
akan mempengaruhi tinggi rendahnya kualitas demokrasi.
Sejak
pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu terakhir tahun 2009, jumlah perempuan
di kursi DPR memang mengalami peningkatan. Namun peningkatan prosentase
perempuan di parlemen itu tidak cukup signifikan. Pada pemilu pertama tahun
1955 misalnya, hanya ada 17 perempuan dari 272 anggota parlemen saat itu, atau
hanya sekitar 6.25 persen saja. Prosentase ini meningkat menjadi 9 persen pada
pemilu 1999 dan 17.86 persen pada pemilu terakhir tahun 2009. Tentu saja
prosentase ini sangat tidak sebanding dengan jumlah perempuan Indonesia yang mencapai
118.010.413 atau hampir separuh dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, Sensus
Penduduk 2010).
Ketimpangan
prosentase keterwakilan perempuan ini semakin nyata jika kita lihat data
per-provinsi. Ada banyak provinsi di Indonesia yang ternyata tidak memiliki
wakil perempuan yang duduk di DPR, misalnya Provinsi Aceh dan Bali. Belum lagi
bila kita lihat jumlah perempuan di DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang prosentasenya
jauh lebih sedikit dari perempuan di DPR RI. Demikian juga jika kita lihat per-parpol,
dimana banyak parpol yang prosentase wakil perempuannya di parlemen masih
sangat kecil. PKS misalnya, yang hanya memiliki sekitar 5 persen saja wakil
perempuan di DPR RI.
Perempuan Hanya Sebagai Umpan
Faktor yang
menjadi penghambat utama dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen
adalah tidak adanya keseriusan parpol untuk memprioritaskan perempuan dalam
pencalonan anggota legislatif. Kenyataan ini bisa dibuktikan dengan kondisi
parpol saat ini yang ‘kebingungan’ dalam menjaring perempuan untuk dicalonkan
sebagai anggota legislatif dan untuk memenuhi persyaratan kuota 30 persen
perempuan. Koran Sindo misalnya, awal Maret lalu memberitakan pernyataan Ketua
Umum PPP Suryadharma Alie yang mengaku kesulitan mencari kader perempuan untuk
memenuhi kuota 30 persen perempuan menjelang penyerahan Daftar Calon Sementara
(DCS) pada tanggal 9 April mendatang. Kondisi yang sama saya kira juga dialami
oleh parpol-parpol lainnya. Akibatnya, parpol cenderung asal comot saja dan
asal memenuhi persyaratan undang-undang.
Akibatnya banyak perempuan yang dicalonkan parpol tidak terpilih dalam
pemilu, dan kalaupun terpilih mereka tidak memiliki bekal dan kualitas yang
cukup untuk dibawa dalam persidangan DPR.
Jika partai
politik serius dalam mencalonkan perempuan untuk menduduki kursi parlemen,
tentu mereka akan menyiapkan kader-kader perempuannya jauh-jauh hari
sebelumnya. Para kader-kader perempuan ini seharusnya mendapatkan pelatihan
khusus sehingga mereka siap bertarung saat pemilu. Apa yang parpol lakukan saat
ini tak lebih hanya menempatkan perempuan sebagai umpan saja untuk mendapatkan
ikan yang lebih besar. Umpan itu sendiri setelah pemilu akan lenyap dan yang
diuntungkan hanyalah partai politik sebagai lembaga yang menebar pancing.
Dalam
sebuah kesempatan, seorang pimpinan organisasi perempuan di Jawa Timur berkeluh
kesah kepada saya. Saat ini sudah ada tiga partai politik yang melamarnya untuk
menjadi caleg di DPRD Provinsi Jawa Timur, namun semua lamaran itu ia tolak.
Alasannya karena tidak ada keseriusan dari parpol-parpol tersebut untuk
mencalonkan dirinya. Salah satunya adalah tidak ada jaminan bahwa perempuan
ditempatkan pada nomor urut 1 dalam daftar caleg yang akan diserahkan ke KPU.
Tahun 2009 lalu dia mencalonkan diri, namun pada detik-detik terakhir namanya
digeser ke daerah pemilihan (dapil) lain karena dia ternyata satu dapil dengan
salah seorang petinggi partai.
Tentu
kesalahan tidak bisa kita timpakan pada parpol semata-mata. Sah-sah saja parpol
menggunakan perempuan sebagai daya tarik untuk mendulang suara dalam pemilu,
sebagaimana pabrik rokok menggunakan SPG cantik untuk melariskan barang
dagangannya. Harusnya perempuan lebih cerdas jika mendapatkan tawaran dari
parpol untuk menjadi calon legislatif. Ibarat mau menikah, perempuan hendaknya memasang
mas kawin yang mahal yaitu dicalonkan dengan nomor urut satu dan diberi bantuan
dana kampanye.
Jika semua
calon perempuan melakukan strategi ini, pasti parpol akan berpikir dua kali
untuk menolak mas kawin itu. Sebab jika parpol tidak bisa menyiapkan 30 persen
perempuan dalam daftar calegnya, maka sesuai dengan undang-undang parpol
tersebut tidak akan bisa ikut pemilu. Maka mau tidak mau parpol akan
menyediakan mas kawin sebagaimana diminta mempelai perempuan.
Memang
tidak ada jaminan, bahwa nomor urut satu akan secara otomatis terpilih menjadi
anggota legislatif. Namun data dari Puskapol FISIP UI menunjukkan bahwa 44
persen perempuan yang saat ini duduk di kursi DPR berasal dari nomor urut 1.
Artinya, bahwa perempuan yang menempati nomor urut satu memiliki peluang lebih besar
untuk terpilih. Bisa dibayangkan, jika setiap partai politik menempatkan
perempuan pada nomor urut 1 maka jumlah perempuan di DPR akan meningkat cukup
signifikan.
Strategi
lainnya yang tak kalah pentingnya adalah perlunya pendidikan politik bagi
perempuan yang dilakukan secara masif. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak
perempuan saat ini enggan terjun ke dunia politik karena minimnya pengetahuan
mereka tentang politik dan faktor sosial budaya yang selama ini menghambat karir
perempuan di bidang politik. Salah satu hasil terpenting dalam pendidikan
politik secara masif ini adalah mempersiapkan para aktifis perempuan untuk
bertarung dalam pemilu dan untuk duduk di kursi parlemen.
Jika upaya
ini berhasil dilakukan, maka dalam lima tahun ke depan DPR kita akan terisi
perempuan-perempuan yang tidak hanya lebih banyak jumlahnya, tetapi juga lebih
berkualitas. Pada akhirnya diharapkan, perempuan-perempuan yang berkualitas ini
akan berkontribusi secara signifikan pada kualitas kebijakan lembaga legislatif
yang lebih baik.
Post a Comment