Menunggu oleh-oleh SBY dari Negeri Kangguru
Honest
Dody Molasy[1]
Dosen Ilmu Hubungan Internasional - Universitas Jember
Kandidat Doktor di Swinburne University Australia
Presiden Republik Indonesia Dr
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak kemarin bertemu dengan Perdana Menteri
Australia Julia Gillard di Darwin Australia. Pertemuan dua Kepala Negara selama
dua hari ini dibungkus dalam Pertemuan Tahunan Indonesia - Australia, sebuah
pertemuan tingkat Kepala Negara yang akan diadakan setiap tahun. Kunjungan Presiden
SBY ke Darwin ini merupakan pertemuan kedua, pertemuan pertama telah
diselenggarakan di Bali pada tanggal 20 November 2011 yang tahun lalu.
Kedatangan Presiden SBY ke
Australia kali ini mendapat apresiasi yang sangat luar biasa dari masyarakat Australia.
Apalagi pertemuan kedua kepala negara ini dilakukan pada saat Australia
menghadapi masalah serius di perbatasan. Ribuan pencari suaka setiap tahunnya
datang ke Australia melalui perairan Indonesia yang sebagian besar dari mereka
transit terlebih dahulu di Indonesia, sebelum meneruskan perjalanannya melalui
laut ke Australia. Tidak sedikit dari ‘manusia perahu’ ini yang akhirnya tewas
di Samudera Hindia, setelah perahu yang mereka tumpangi terbalik dihempas
ombak. Tragedi terakhir terjadi pekan lalu, sebuah perahu yang berisi ratusan
‘manusia perahu’ terbalik dan menewaskan 90 orang. Mereka dalam perjalanan
menuju Pulau Christmas di Selatan Pulau Jawa. Kejadian serupa juga terjadi
akhir tahun lalu saat sebuah kapal imigran gelap terbalik dan terdampar di
Pantai Selatan Jawa Timur dan menewaskan ratusan penumpangnya.
Di Australia, masalah imigran
gelap dan pencari suaka tidak hanya menjadi masalah kemanusiaan belaka. Isu ini
sudah berkembang menjadi isu politik yang sangat krusial. Apalagi menjelang pemilihan
umum di Australia yang dijadwalkan sekitar bulan November tahun depan. Jullia
Gillard yang memimpin partai buruh terancam terlempar dari kursi kekuasaannya,
karena dianggap tidak berhasil menyelesaikan persoalan para imigran gelap ini.
Sejumlah detention centre atau rumah tahanan imigrasi di Australia sudah
penuh dan over-populasi. Proposal partai buruh pimpinan Julia Gillard untuk
mengembalikan dan membangun pusat rehabilitasi para imigran gelap di Malaysia,
beberapa hari lalu digagalkan oleh partai oposisi dalam sidang di Parlemen
Australia.
Pemerintah Australia sangat
berharap kepada Pemerintah Indonesia untuk membantu menyelesaikan persoalan
imigran gelap ini. Apalagi Indonesia adalah tempat transit utama bagi para
pencari suaka ini sebelum mereka berlayar ke Australia. Sejumlah opini di surat
kabar dan televisi Australia hari ini memperbincangkan kemungkinan kerjasama
itu. Mereka berharap pertemuan antara SBY dan Julia Gillard bisa menghasilkan
rumusan yang kongkrit dan diharapkan Indonesia terlibat dalam upaya
menyelesaikan persoalan imigran gelap. Pertemuan dua kepala negara ini juga
diharapkan semakin mempererat hubungan diplomatik kedua negara yang selama ini
mengalami pasang surut. Indonesia juga diharapkan untuk memberikan usulan
kerjasama untuk meningkatkan perekonomian nasional.
Dalam sejarah, hubungan
diplomatik antara Indonesia dan Australia tidak sepenuhnya mulus. Australia
pernah menjadi sahabat Indonesia, karena Australia termasuk negara pertama yang
mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Namun antara tahun 1959 - 1962
hubungan Indonesia dan Australia memburuk saat Indonesia berjuang memperebutkan
Irian Barat. Australia yang saat itu khawatir dengan perkembangan komunis di
Indonesia berada di belakang Belanda
yang ingin menguasai kembali Irian Jaya. Namun hubungan ini membaik
kembali, saat Australia mendukung keputusan PBB pada tahun 1962 yang memasukkan
Irian Jaya sebagai Provinsi ke-26 Republik Indonesia.
Setahun kemudian, hubungan
Indonesia-Australia memburuk kembali saat Indonesia melakukan konfrontasi
dengan Malaysia pada tahun 1963-1965. Australia yang terikat kerjasama militer
dengan Malaysia terlibat perang dengan tentara Indonesia di perbatasan
Kalimantan. Hubungan kembali mencair saat Orde Baru mengambil alih kekuasaan,
dan pada tahun 1967 Australia memberikan bantuan kepada pemerintah untuk
membangun ekonomi Indonesia. Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi
Indonesia, sejak tahun 1970-an Indonesia terutama Bali, menjadi tujuan utama
wisatawan dari Australia. Bahkan di awal tahun 1980-an sebuah group musik asal
Australia mempopulerkan lagu “I’ve been to Bali too” yang menjadi pertanda
hubungan yang sangat akrab antara Indonesia-Australia.
Tahun 1998-1999 hubungan dua
negara ini memburuk lagi, saat Australia mendukung kemerdekaan Timor Timur,
yang akhirnya melalui referendum Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan
berubah nama menjadi East Timor. Hubungan yang buruk ini tetap berlanjut karena
Australia memimpin pasukan keamanan PBB yang tergabung dalam International
Force in East Timor (disingkat INTERFET) yang bertugas mengembalikan
perdamaian dan keamanan di East Timor. Australia menganggap tentara Indonesia
dan masyarakat pro-integrasi terlibat aksi teror dan kekerasan di East Timor.
Meskipun kini hubungan bilateral
antara Indonesia dan Australia cukup membaik, namun kerap kali terjadi
riak-riak politik. Banyak sekali persoalan diantara keduanya yang menjadi ‘api
dalam sekam’ yang sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan dan memicu konflik
antar dua negara bertetangga ini. Konflik Papua misalnya, persoalan ini menjadi
isu yang sangat sensitif bagi Pemerintah Indonesia. Pemberian temporary visa
bagi 42 warga papua yang mencari suaka ke Australia pada tahun 2006 memancing
protes keras Pemerintah Indonesia kepada Australia. Bahkan Menteri Luar Negeri
Indonesia saat itu, Hasan Wirajuda memanggil pulang Duta Besar Indonesia di
Canberra sebagai protes kebijakan Pemerintah Australia itu. Selain itu masih
banyak lagi isu-isu sensitif lainnya seperti perdagangan obat terlarang dan
narkotika serta penegakan HAM yang sepatutnya dibicarakan dan diselesaikan
secara hati-hati.
Peluang bagi Indonesia
Dari posisi Indonesia,
bertetangga dengan Negara Industri maju seperti Australia akan memberikan
kontribusi positif bagi perkembangan ekonomi nasional. Tentu saja, jika peluang
ini bisa ditangkap dan diimplementasikan secara baik. Selama ini, nampaknya
keberadaan Australia sebagai negara maju kurang dirasakan manfaatnya oleh
sejumlah provinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan perairan
Australia. Kecuali Bali yang mendapatkan pemasukan yang cukup banyak dari
kehadiran turis asal Australia, provinsi lainnya seperti NTB, NTT dan Papua
nampaknya kurang mendapatkan revenue dari hubungan Indonesia-Australia.
Ironisnya, tiga provinsi ini, justru termasuk provinsi termiskin di Indonesia.
Setidaknya ada tiga kerjasama yang perlu dijajagi SBY dengan Pemerintah
Australia dalam rangka meningkatkan kerjasama ekonomi dua negara, khususnya
untuk meningkatkan ekonomi di tiga provinsi miskin yang paling dekat dengan
Australia ini.
Pertama adalah kerjasama dalam
bidang peternakan. Diakui atau tidak, Australia adalah negara yang cukup
berhasil dalam mengembangkan industri peternakan. Saat ini Australia adalah
negara terbesar kedua produsen daging sapi dan negara yang mendapat predikat
negara paling efisien dalam industri peternakan. Tahun kemarin, Australia
berhasil memproduksi 2,1 juta ton daging sapi dan 65% dari total produksinya
dijual ke luar negeri, termasuk Indonesia. Karena efisiensi yang tinggi, harga
daging sapi asal Australia ini lebih murah dari daging sapi lokal. Akibatnya,
masuknya daging sapi asal Australia ini menyebabkan peternak lokal merugi dan
banyak yang gulung tikar.
Usul untuk mengembangkan usaha
peternakan bersama antara Australia dan Indonesia nampaknya penting untuk
segera dilakukan. Salah satu caranya adalah dengan usaha penggemukan sapi asal
Australia di Indonesia. Dalam program ini, Indonesia tidak lagi membeli daging
sapi asal Australia, dan menggantinya dengan membeli sapi anakan asal Australia
untuk di gemukkan di Indonesia, terutama di NTB dan NTT yang memiliki lahan
yang cukup luas untuk usaha peternakan. Dengan demikian, kehadiran sapi-sapi
asal Australia ini tidak merugikan peternak lokal, bahkan sebaliknya
memberdayakan mereka.
Kerjasama kedua yang tak kalah
pentingnya adalah kerjasama di bidang pertambangan. Australia adalah salah satu
negara terkemuka di dunia di bidang industri
pertambangan. Bahkan pertambangan adalah salah satu kontributor terbesar
bagi perekonomian Australia. Meski demikian, industri ini hanya menyerap 1,3 %
saja pasar kerja di Australia. Salah satu penyebabnya adalah sedikitnya warga
Australia yang memiliki skill khusus di bidang pertambangan. Sementara
Indonesia memiliki sejumlah universitas yang bisa mencetak tenaga siap pakai di bidang pertambangan seperti
ITB, UGM dan sejumlah universitas lainnya. Kerjasama di bidang ketenaga kerjaan
ini akan sangat menguntungkan keduabelah pihak. Di satu sisi akan menyerap
kebutuhan kerja di Indonesia di lain sisi akan meningkatkan industri tambang di
Australia.
Kerjasama ketiga yang perlu untuk
dijajagi adalah kerjasama dibidang pertanian. Produksi pertanian Australia
banyak berada di pantai timur bagian utara Benua Australia. Daerah ini adalah
kawasan yang subur namun sangat rentan bencana alam, seperti banjir dan angin topan. Beberapa kali harga
buah dan sayur meroket naik setelah kawasan pertanian di Negara Bagian
Queensland ini terkena hantaman badai dan banjir. Sementara di Indonesia, lahan
pertanian sangat terbuka lebar. Sejumlah produk buah khas daerah tropis seperti
pisang, pepaya dan mangga, juga sangat digemari di Australia. Pemerintah
Indonesia sebenarnya bisa memfasilitasi untuk membuka lahan di NTT, NTB dan
Papua untuk budidaya buah-buah tersebut yang dikhususkan untuk dipasarkan di
Australia. Tentu saja kontrak hitam di
atas putih sangat dibutuhkan untuk
menjamin pemasaran hasil pertanian tersebut.
Pertemuan SBY dan Julia Gillard
di Darwin adalah momen yang sangat tepat bagi pemerintah Indonesia untuk
mengusulkan sejumlah rancangan kerjasama yang menguntungkan. Apalagi dalam
suasana Pemerintah Australia sedang membutuhkan bantuan Pemerintah Indonesia
untuk menyelesaikan persoalan domestiknya, terutama menyangkut isu imigran gelap.
Rakyat indonesiapun saat ini sedang menunggu oleh-oleh Pak SBY dari negeri
kangguru ini. Mudah-mudahan oleh-oleh yang dibawa Pak SBY bisa digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Post a Comment